Penolakan Pembebasan Napi: Tumpul Rasa Kemanusiaan kah?
Pierre Suteki
Sebagaimana diberitakan oleh CNN Indonesia, 5/4/2020 -- Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Laoly mengatakan hanya orang yang tumpul rasa kemanusiaannya yang tidak menerima pembebasan narapidana dari lembaga pemasyarakatan (lapas) dengan kondisi kelebihan kapasitas di tengah pandemi Covid-19.
Pernyataan Yasonna merespon sejumlah pihak yang tidak setuju terhadap rencana pemerintah untuk membebaskan para narapidana di tengah pandemi COVID-19.
Menurut saya, bukan persoalan "tumpul rasa kemanusiaan warga" tapi tanggung jawab negaralah untuk memperlakukan narapidana secara manusiawi. Berani menangkap dan memenjarakan seorang terdakwa berarti berani membiayai kebutuhan dasarnya dan pembinaannya. Itu penalaran hukum yang benar. Kalau bicara ancaman corona, semua terancam bukan? Tidak hanya di dalam penjara, tetapi di luar penjara juga. Dan sudah adakah wabah corona telah menjangkiti warga penjara? Lalu kekhawatirannya di mana? Bukankah penjara justru lebih tepat sebagai area lockdown atau karantina wilayah lokal?
Alasannya apa hingga penjara over capacity? Karena sistem SPP kita masih "amburadul" jika dilihat dari perspektif ideologi Pancasila. Kalau ada pihak yang berdalil karena sila kedua kemanusiaan untuk membebaskan para napi dengan dalih corona, mengapa sejak awal tidak digagas penyelesian perkara pidana dengan model Restorative Justice System, sehingga tidak harus semua perkara berakhir di penjara? Mengapa negara hingga kini masih berparadigma "memenjarakan" rakyatnya dengan dalih penegakan hukum karena dugaan makar, radikalisme, hate speech, penghinaan pejabat publik yang seringkali kontra produktif dengan semangat demokratisasi?
Benarkah cara berhukum kita sudah dijiwai nilai Pancasila?
Kalau boleh saya menyampaikan statement nakal sebenarnya kita ini sejak merdeka belum pernah menerapkan nilai-nilai Pancasila dalam bernegara. Fungsi Pancasila sebagai rechtsidee itu hanya LAMIS (kembang lambe alias lips service) karena senyatanya kita di bawah cengkeraman liberal kapitalisme. Memang secara ideal kita punya UUD 1945 sebagai pengejawantahan Pancasila sebagai rechtsidee itu tetapi secara riil kita tdk memiliki ruh Pancasila dalam berhukum kita.
Pancasila akhirnya hanya berfungsi sebagai stempel kekuasaan yang cenderung ingin mengatakan bahwa SAYA PANCASILA yang identik dengan slogan SAYA ADALAH NEGARA atau NEGARA ADALAH SAYA (L'etat C'est Moi). Dari slogan ini berakibat ketika ada orang berlawanan dengan SAYA maka itu berarti berlawanan dengan NEGARA dan PANCASILA. Hukum sudah tidak dianggep lagi sebagai panglima meski negara ini mendeklarasikan dirinya sebagai NEGARA HUKUM (Pasal 1 ayat 3 UUD NRI 1945). Lalu tampillah POLITIK sebagai GODAM PENGUASA untuk mempertahankan status quo. Maka akhirnya yang berlawanan itu akan dianggap sebagai musuh dan oleh karenanya mesti disingkirkan dengan cara yang SEOLAH LEGITIMATE padahal yang sedang berlangsung adalah ritual OTORITARIANISME. Di situlah kriminalisasi politik tengah berlangsung dengan tujuan utama "memenjarakan" lawan yang lantang berteriak perbedaan dalam klaim demokrasi.
Lalu di mana Pancasila yang nilai-nilai luhurnya sudah dikaji keutamaannya untuk menyelesaikan berbagai persoalan bangsa ini? Nilai itu hanya sekedar menjadi MACAN KERTAS belaka. Akhir skenario ini dapat ditebak bahwa NEGARA HUKUM Indonesia hendak dipaksa berubah arah menjadi NEGARA KEKUASAAN dan ini berarti menjawab pertanyaan kritis: WHY DEMOCRACIES DIE.
Menanggapi pendapat Prof Mahfud bahwa "POLISI JANGAN TAKUT DITUDUH KRIMINALISASI" perlu saya sampaikan beberapa hal berikut ini. Benar adanya, KALAU MEMANG TINDAK KRIMINAL ya tidak perlu ada KRIMINALISASI. Yang jadi masalah adalah perkara yang seharusnya tidak perlu ditindak secara pidana "dipaksa" untuk ditindak secara pidana. Memang harus bijaksana menegakkan hukum di Indonesia dgn keragaman yang ada dan kata orang CARA BERHUKUM KITA itu mesti dijiwai NILAI PANCASILA mengingat PANCASILA sebagai RECHTSIDEE.
Sudahkan nilai-nilai Pancasila itu TEMBUS dalam cara berhukum kita bila kenyataannya PIDANA LEBIH diutamakan dari pada RESTORATIF-nya. Katanya kita ikuti asas ULTIMUM REMEDIUM? Mana buktinya? Asal ada dugaan adanya tindak pidana seolah langsung "ngebet" MEMENJARAKAN warga negara. Itukah PANCASILAIS SEJATI? Oleh karena itu tingkat HUNIAN PENJARA kita sudah OVERBOOK dan OVERLOAD hingga sulit di-DOWNLOAD, sedang BELANDA sebagai negeri KIBLAT HUKUM kita sudah sangat berbeda cara berhukumnya sehingga PENJARA SEPI penghuni.
Dulu, waktu menjelang pemilu presiden, kita pun disodorkan persoalan adanya kesan perbedaan PENANGANAN PERKARA antara dua kubu dengan dugaan tindak pidana yg sama. Kalau dikatakan di kubu 01 banyak yg ditindak, itu mana bukti-buktinya? Namun kalau dikatakan dari kubu 02 yang ditindak itu jelas banyak bukti-buktinya. Dalam hal ini saya juga amat merasakan adanya ketidakadilan dalam hal ini. Aroma ototitarianisme dalam cara berhukum kita saya kira mudah tercium. Benar memang, pemerintah sudah menggunakan "hukum" dalam bertindak, tetapi hukum itu seolah dibuat dan diterapkan hanya untuk sekedar memback up perilakunya agar tetap dinilai "legitimate", yang oleh Brian Z Tamanaha disebut sebagai THE THINNEST RULE OF LAW. Penggunaan UU ITE misalnya terkesan digunakan serampangan seolah menggantikan UU Subversi dahulu. Apalagi ada ide untuk menindak HOAX dengan godam UU TERORISME. Sungguh "nggegirisi" bila hal itu dilakukan.
Menyoroti peristiwa pilpres 2019, dalam hal ini saya tidak membela kubu 01 atau kubu 02. Saya hanya mengungkapkan kegelisahan sebagai seseorang yg dianggap sedikit tahu tentang CARA BERHUKUM berdasarkan nilai-nilai Pancasila. Sepertinya mendesak bagi Indonesia ini untuk segera dirancang model atau cara berhukum dgn mengutamakan RESTORATIVE JUSTICE dari pada RETRIBUTIVE JUSTICE. Integrated criminal justice sistem mesti diimbangi dengan NJC, Neighbourhood Justice Center seperti yang diterapkan di Australia.
Jadi, bukan persoalan anti Pancasila atau bukan ketika ada pihak yang menolak pembebasan napi karena alasan pandemi covid-19 tetapi saya menangkap kesan seolah telah terjadi adanya narasi kontra produktif dengan dengan tujuan semua dari penegakan hukum yang masih kental dengan semangat "memenjarakan" rakyat. Hingga kita juga menangkap fakta bahwa seolah telah terjadi "balada" hukum di negeri pandemi, napi dibebaskan, aktivis terancam ditangkapi? What happen with Indonesia law enforcement?
Tabik...!!!
#LamRad
#LiveOppressedOrRiseUpAgainst
Related Post
Langganan:
Posting Komentar (Atom)

0 komentar