SUMBER KORUPSI ADALAH...? DEMOKRASI!


Salim Salaman
Dir. LANSKAP
Tak terbilang sudah berapa ribu kasus korupsi dan berapa ribu trilyun rupiah yang menguap di negeri ini. Tidak pernah ada rilis resmi baik dari pemerintah maupun lembaga survey partikelir tentang berapa akumulasi uang rakyat yang raib digasak oknum-oknum biadab itu. Saya yakin jumlahnya akan sangat fantastis jika dihitung sejak negeri ini merdeka. Bahkan sangat mungkin melebihi kekayaan yang dirampas VOC selama lebih dari 300 tahun mengoloni nusantara.
Sangat rasional jika saya berpendapat bahwa korupsilah salah satu faktor dominan memiskinkan rakyat yang sejatinya tinggal di negeri yang gemah ripah loh jinawi. Alih-alih menjadi negara maju justru semakin hari semakin terpuruk dalam kemiskinan terstruktur. Silakan jika ada di antara Anda yang mau repot meneliti total uang yang dikorupsi dan tolong kabarkan kepada seluruh khalayak agar mereka sadar betapa selama ini "dikadali" para birokrat dan sekutunya.
Namun kali ini saya hanya hendak memberi perspektif faktor apa yang menyebabkan korupsi begitu subur menjamur di negeri ini. Dari sekian banyak variabel maka analisa saya demokrasilah yang dominan menjadi sumber korupsi. Mengapa? Pertama, sederhana saja. Korupsi uang negara (baca: rakyat) pastinya hanya bisa dilakukan oleh perangkat negara, mulai dari yang tertinggi sampai yang terendah.
Sudah barang tentu modusnya Tak sendirian, lazimnya dilakukan secara kolektif baik dengan rekan sejawat maupun dengan rekanan dari pihak swasta, korporasi maupun perorangan. Dan karena terkait dengan urusan birokrasi, pastilah dilakukan secara struktural. Perkara siapa nanti yang akan dikorbankan untuk terkena OTT itu urusan daya tawar politis.
Maka pertanyaan mendasar adalah bagaimana caranya sehingga oknum-oknum pejabat publik itu bisa berkuasa? Ya, sudah barang tentu lewat proses demokrasi, baik pemilu legislatif, pilkada bahkan pilpres. Bukankah korupsi itu dilakukan saat mereka menjabat? Bukankah mereka bisa menjabat karena mengikuti kontestasi demokrasi tersebut?
Kedua, biaya yang diperlukan untuk mengikuti pileg, pilkada maupun pilpres sangat mahal. Hanya sekedar menjadi kepala daerah tingkat II saja membutuhkan milyaran, belum lagi untuk level di atasnya. Bahkan baru-baru ini Bambang Soesatyo (Bamsoet) menerangkan jika biaya yang dibutuhkan untuk menguasai sebuah Parpol mencapai 1 Triliun.
Lalu darimana uang sebesar itu didapat? Agak mustahil jika dari kantong sendiri, kecuali politisi tersebut juga seorang pengusaha. Maka yang lebih rasional adalah mengandalkan gelontoran dari bohir atau cukong di belakang mereka. Yang pastinya dibayar dengan konsesi-konsesi sebagai imbal balik. Seperti meloloskan tender-tender proyek pengadaan, ijon-ijon proyek, izin-izin usaha, kemudahan investasi, dll. Pintu inilah yang menjadi awal mula gunung korupsi di negeri ini.
Dari dua alasan tersebut saja sudah jelas bahwa demokrasilah yang menjadi biang kerok korupsi. Lalu butuh bukti apalagi untuk mencampakkan demokrasi agar korupsi tak lagi subur di negeri ini?

0 komentar